DDoS (Distributed Denial of Service) adalah serangan siber yang bertujuan untuk mengganggu atau melumpuhkan sistem dengan cara mengirimkan jumlah besar lalu lintas atau permintaan ke server target.
Serangan ini dilakukan melalui komputer yang telah terinfeksi dan dikendalikan oleh penyerang, yang sering disebut botnet.
Dalam serangan DDoS, server target dibanjiri dengan lalu lintas yang tidak biasa atau permintaan yang berlebihan, sehingga menyebabkan sistem menjadi terbebani. Server target melewati batas daya tampungnya dan tidak dapat lagi merespons atau memberikan layanan kepada pengguna yang sah, yang mengakibatkan penolakan akses (denial of service)
Serangan DDoS biasanya dilakukan melalui jaringan luas atau internet, dan menggunakan komputer yang terinfeksi secara geografis terdistribusi untuk memperbesar dampak serangan. Dalam serangan DDoS, kebanyakan serangan berasal dari banyak sumber, sehingga serangan sulit dilacak atau dicegah dengan mudah.
Serangan DDoS dapat memiliki dampak yang merugikan, termasuk gangguan layanan, kerugian finansial, kerusakan reputasi, dan potensi konsekuensi hukum. Oleh karena itu, organisasi harus mengimplementasikan berbagai mekanisme dan sistem keamanan, seperti filter lalu lintas, deteksi serangan, dan mitigasi serangan, untuk melindungi sistem mereka dari serangan DDoS.
Serangan DDoS melibatkan penggunaan ribuan hingga jutaan komputer yang telah tercompromise, yang dikenal sebagai “zombies” atau “botnet”. Penyerang mengambil alih komputer-komputer ini dengan menggunakan malware atau virus yang dapat mengontrol mereka dari jarak jauh.
Dalam beberapa kasus, komputer yang terinfeksi mungkin tidak menyadari bahwa mereka digunakan dalam serangan.
Saat serangan DDoS dimulai, komputer-komputer yang terinfeksi dikirim instruksi oleh penyerang untuk secara bersamaan mengirimkan lalu lintas atau permintaan ke server target.
Tujuannya adalah untuk mengganggu keberfungsian sistem tersebut dengan membanjirinya dengan lalu lintas yang tidak biasa atau permintaan yang berlebihan. Serangan dapat berfokus pada berbagai protokol dan lapisan jaringan, termasuk HTTP, DNS, FTP, dan banyak lagi.
Penyerang sering menggunakan teknik “amplifikasi” dalam serangan DDoS. Ini melibatkan memanfaatkan layanan yang memiliki sifat memperbesar lalu lintas.
Sebagai contoh, serangan DDoS yang menggunakan protokol NTP (Network Time Protocol) dapat menggunakan server NTP yang terbuka sebagai relay untuk meluaskan serangannya. Dengan memperkecil ukuran serangan yang dikirimkan oleh penyerang, mereka dapat menciptakan dampak yang lebih besar pada sistem target.
Serangan DDoS juga dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat lalu lintas yang dikirimkan. Serangan dengan lalu lintas yang sangat besar dan membanjiri sumber daya jaringan adalah serangan DDoS yang “flood-based”, sedangkan serangan dengan permintaan yang kompleks dan membutuhkan sumber daya komputasi yang tinggi adalah serangan DDoS yang “layer 7” atau terfokus pada aplikasi.
Organisasi yang menjadi target serangan
DDoS memerlukan langkah-langkah mitigasi yang tepat untuk menghadapinya. Ini mungkin melibatkan penggunaan firewall yang kuat, sistem deteksi dan pencegahan intrusi (IDS/IPS), load balancer yang membagi lalu lintas secara merata, serta cloud-based anti-DDoS services yang dapat menyaring dan memutus lalu lintas yang mencurigakan.
Selain itu, kerja sama dengan penyedia layanan internet (ISP), melakukan analisis lalu lintas dan berkolaborasi dengan organisasi keamanan siber lainnya juga menjadi penting dalam melindungi infrastruktur dari serangan DDoS.
Posting Komentar